www.arissaifulloh.com - Struktur Tahan Gempa berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen, Belakangan gencar sekali propaganda tentang struktur tahan gempa pd rumah tinggal yg hendak “dipaksakan” oleh pihak-pihak tertentu lewat media facebook. Kita tidak tahu sebenarnya maksud dan tujuan propaganda tersebut, apakah memang didasari tujuan murni utk keamanan bangunan, ataukah ada agenda2 tersembunyi yg bertujuan menggiring opini publik yg berujung pd penciptaan pasar, atau malah mungkin hanya sekedar unjuk kemampuan?
Tujuan tulisan ini tak hendak bermaksud mengcounter propaganda tersebut, melainkan hanya ingin menyajikan beberapa fakta yg berkaitan dg masalah tersebut. Beberapa fakta yg saya maksud adalah:
Jika kita mengurus IMB rumah tinggal (khususnya di DKI), hal2 yg harus dipenuhi adalah menyangkut GSB, KDB, jumlah lantai, sumur resapan, dan ruang terbuka pd bagian belakan lahan. Tidak disebutkan bahwa struktur harus tahan gempa.
2. SE bangunan tinggi
Dalam beberapa kasus, arsitek sering meng-hire structure engineer yg biasa menangani bangunan tinggi. Sudah barang tentu, peraturan2 yg biasa dipakai utk bangunan tinggi ikut terbawa pada saat mendesain struktur rumah tinggal yg kebanyakan hanya berlantai 2. Akibatnya, desain yg dihasilkan terkesan ‘over’ dibandingkan desain struktur rumah tinggal pd umumnya. Nilai rupiahnya pun bisa cukup signifikan.
3. Undang-undang Perlindungan Konsumen
Salah satu pasal dalam UU Perlindungan Konsumen menyebutkan, dalam jual beli , penjual wajib menginformasikan hal-hal yg berkaitan dg produk yg dijualnya kepada konsumen.
Dalam kasus transaksi konstruksi, konsumen berhak mendapatkan penjelasan tentang spesifikasi material, kualitas pekerjaan, dll (seperti tertuang dlm Gambar, RAB dan RKS), termasuk informasi ttg desain struktur (tahan gempa atau tidak). Informasi ttg struktur tahan gempa ini penting sebab perbedaan harga antara tahan gempa dan tidak tahan gempa cukup signifikan (seperti disebut dlm fakta no. 2).
Konsumen berhak menentukan/ memilih apakah rumah tinggalnya tahan gempa atau tidak, sebab hal ini tidak menjadi kewajiban (seperti disebut dalam fakta no. 1).
Sekitar 5-6 th lalu seorang rekan pernah menjumpai kasus, dimana gambar struktur rumah tinggal yg hendak dilaksanakan terkesan over. Padahal desain rumah tinggalnya sederhana hanya 2 lantai, tanpa ada kantilever, split level, atau bentuk khusus yg menyebabkan harga struktur mahal. Bentang baloknya pun normal antara 3-6 meter dg sistem portal tertutup. Harusnya, desain struktur seperti ini cukup efisien. Krn dianggap agak janggal, rekan tadi minta diketemukan dg konstruktornya. Pd pertemuan tsb terungkap bahwa, angka keamanan mencapai 40%. Artinya, jika biaya struktur sekitar 500 juta, maka nilai ‘pemborosan’ bernilai 200 juta.
Ditengah proses konstruksi, entah ada masalah keuangan krn banyak perubahan dan penambahan, owner mulai mencari-cari celah utk mengurangi nilai/ harga kontrak. Hal ini jelas merugikan kontraktor dari segi finansial. Krn kontraktor pun tidak mau rugi, akibatnya kualitas finishing yg dikorbankan utk menutup kerugian. Pd ujungnya, arsitek pun dirugikan karena kualitas finishing menurun dibanding ekspektasinya.
Jika hal tersebut dijelaskan diawal, bisa jadi owner akan memilih struktur biasa. Dana 200 juta dapat dimanfaatkan utk membayar biaya pekerjaan tambah-kurang tanpa merugikan kontraktor. Ingat, kemampuan finansial owner berbeda-beda. Tidak elok memaksakan satu standar tinggi kepada owner tanpa melihat kemampuannya, padahal standar tersebut bukan sesuatu yg urgent untuk diterapkan pd konstruksi rumah tinggal (di Jakarta).
**Jika struktur rumah tinggal didesain tahan gempa namun tidak diinformasikan kpd owner (termasuk konsekuensi biayanya) , maka hal tersebut melanggar UU Perlindungan Konsumen sebab, perbedaan nilai/ harga strukturnya cukup signifikan, sementara hal tersebut tidak diwajibkan dalam regulasi IMB.
Jika kalian pernah mengalami hal seperti ini tulisan ini boleh dishare supaya teman, kerabat, dan juga rekan kerja anda mengetahuinya.
Sumber
Struktur Beton Tahan Gempa berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen |
Struktur Beton Tahan Gempa berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen
1. Regulasi IMBJika kita mengurus IMB rumah tinggal (khususnya di DKI), hal2 yg harus dipenuhi adalah menyangkut GSB, KDB, jumlah lantai, sumur resapan, dan ruang terbuka pd bagian belakan lahan. Tidak disebutkan bahwa struktur harus tahan gempa.
2. SE bangunan tinggi
Dalam beberapa kasus, arsitek sering meng-hire structure engineer yg biasa menangani bangunan tinggi. Sudah barang tentu, peraturan2 yg biasa dipakai utk bangunan tinggi ikut terbawa pada saat mendesain struktur rumah tinggal yg kebanyakan hanya berlantai 2. Akibatnya, desain yg dihasilkan terkesan ‘over’ dibandingkan desain struktur rumah tinggal pd umumnya. Nilai rupiahnya pun bisa cukup signifikan.
3. Undang-undang Perlindungan Konsumen
Salah satu pasal dalam UU Perlindungan Konsumen menyebutkan, dalam jual beli , penjual wajib menginformasikan hal-hal yg berkaitan dg produk yg dijualnya kepada konsumen.
Dalam kasus transaksi konstruksi, konsumen berhak mendapatkan penjelasan tentang spesifikasi material, kualitas pekerjaan, dll (seperti tertuang dlm Gambar, RAB dan RKS), termasuk informasi ttg desain struktur (tahan gempa atau tidak). Informasi ttg struktur tahan gempa ini penting sebab perbedaan harga antara tahan gempa dan tidak tahan gempa cukup signifikan (seperti disebut dlm fakta no. 2).
Konsumen berhak menentukan/ memilih apakah rumah tinggalnya tahan gempa atau tidak, sebab hal ini tidak menjadi kewajiban (seperti disebut dalam fakta no. 1).
Baca Juga: Hal Yang Menyebabkan Bangunan Struktur Baja Roboh
Berikut contoh kasusnya?Sekitar 5-6 th lalu seorang rekan pernah menjumpai kasus, dimana gambar struktur rumah tinggal yg hendak dilaksanakan terkesan over. Padahal desain rumah tinggalnya sederhana hanya 2 lantai, tanpa ada kantilever, split level, atau bentuk khusus yg menyebabkan harga struktur mahal. Bentang baloknya pun normal antara 3-6 meter dg sistem portal tertutup. Harusnya, desain struktur seperti ini cukup efisien. Krn dianggap agak janggal, rekan tadi minta diketemukan dg konstruktornya. Pd pertemuan tsb terungkap bahwa, angka keamanan mencapai 40%. Artinya, jika biaya struktur sekitar 500 juta, maka nilai ‘pemborosan’ bernilai 200 juta.
Ditengah proses konstruksi, entah ada masalah keuangan krn banyak perubahan dan penambahan, owner mulai mencari-cari celah utk mengurangi nilai/ harga kontrak. Hal ini jelas merugikan kontraktor dari segi finansial. Krn kontraktor pun tidak mau rugi, akibatnya kualitas finishing yg dikorbankan utk menutup kerugian. Pd ujungnya, arsitek pun dirugikan karena kualitas finishing menurun dibanding ekspektasinya.
Jika hal tersebut dijelaskan diawal, bisa jadi owner akan memilih struktur biasa. Dana 200 juta dapat dimanfaatkan utk membayar biaya pekerjaan tambah-kurang tanpa merugikan kontraktor. Ingat, kemampuan finansial owner berbeda-beda. Tidak elok memaksakan satu standar tinggi kepada owner tanpa melihat kemampuannya, padahal standar tersebut bukan sesuatu yg urgent untuk diterapkan pd konstruksi rumah tinggal (di Jakarta).
**Jika struktur rumah tinggal didesain tahan gempa namun tidak diinformasikan kpd owner (termasuk konsekuensi biayanya) , maka hal tersebut melanggar UU Perlindungan Konsumen sebab, perbedaan nilai/ harga strukturnya cukup signifikan, sementara hal tersebut tidak diwajibkan dalam regulasi IMB.
Jika kalian pernah mengalami hal seperti ini tulisan ini boleh dishare supaya teman, kerabat, dan juga rekan kerja anda mengetahuinya.
Sumber
Comments
Post a Comment